Purnama

#1

                Jingga mendominasi langit di ufuk barat. Angin dengan deras sungai Citarum memang selalu menjadi moment membahagiakan bagi Hafiz. Di tangannya, setangkai kembang dari hijau pepohonan yang ditanam mengiringi bantaran sungai, menjadi kado terindah untuk seorang wanita yang sedang dinantinya.  Hafiz duduk di batu besar pinggir sungai, dari arah belakang terdengar sayup-sayup kendaraan jalan utama perkampungan. Di hadapannya, perahu penyebrangan bulak-balik mengantar orang yang hendak pulang atau barangkali berangkat menuju pasar karawang.

“Lagi ngapain, Tong?”
“Eh, lagi nunggu temen, Pak.”
“Eh bapak luh kaga ke sawah?”
“Enggak, Pak, ada di rumah sama ibu. Sore amat pulangnya?”
“Iya, biasa, orang nyawah mah kudu telaten, tong, supaya panennya bagus. Yuk, ah bapak duluan.”
“Eh iya mari, Pak”

Sekelompok petani dengan kaos lengan pandang yang menyebarkan aroma basah  khas lumpur sawah berjalan menggandeng sepeda. Para suami dan istri yang mencari penghidupan lewat garapan padi itu, selalu menaruh harapan pada hujan, angin, tanah, air, dan mungkin juga matahari. Mereka hidup bergandengan dengan alam, memahami dan mengerti apa yang diinginkan oleh lingkungan, pada mahluk-mahluk yang  Tuhan ciptakan untuk kehidupan manusia.

Sambil melintir-lintir batang kembang, Hafiz sesekali mengarahkan pandangannya pada tepi sungai. Ia membayangkan kehidupan di kemudian hari. Kehidupan yang mungkin akan berbeda dari hari ini. Ia memikirkn masa depannya. Apakah akan terus dan tetap seperti ini? memanggul padi, mengantar makan untuk bapak di sawah, mencari rumput, menanam timun, mencangkul. Dan apakah nanti masih ada perahu di sungai ini? “hmmmm hidup memang akan terasa begitu pelik jika dipikirkan,” gumamnya.

“Hafiiiiiiiizzzzzz!”

Ia lekas berdiri, memandang ke arah sumber suara, suara yang baginya adalah irama yang paling indah melebihi cengkok penyanyi dangdut yang sering tampil dalam acara organ tunggal.
Perahu penyebrangan yang baru bertengger di sisi sungai membawa merpati muda  pada pelabuhan cinta. Gadis berambut hitam memanjang dengan sedikit poni di samping kanan itu, memiliki senyum yang selalu menciptakan kebahagiaan bagi siapa pun yang melihatnya.  Dengan kaos merah berbalut sweter halus abu-abu, ia melangkah sedikit berjingkrak menghindari tanaman labuh di kiri dan kanan jalan pinggir sungai.

“Kok, lama banget?”
“Iya, tadi Mia disuruh itung uang setoran beras dulu sama bapak”
“Oh, yuk ke rumah!”
“Eh, emang bener udah bisa dipetik labuhnya”
“Udah, kok. Hati aku juga kan udah bisa kamu petik”
“Hahaha, kamu jago ngegombal. Kenapa gak main di OVJ aja!”
“Enggak ah, gak mau jadi artis, aku mah mau jadi orang yang bisa gambar bangunan-bangunan besar dan mewah itu. Nama kerennya apa tuh, hmmmm artis sektur ya?
“hahaha, Bukan. Arsitektur.”
“Nah iya itu maksudnya!”

Hafis dan Mia sampai di kebun samping rumah. Mereka memetik buah sambil tertawa-tawa saling menggoda. Rumah Hafiz memang tak begitu jauh dari aliran Sungai. Jika dari arah jalan utama kampung, cukup dengan berjalan kaki dengan jarak dua ratus meter, di belakang dan samping rumahnya terdapat lahan kosong sebelum tepat di sisi sungai. Di situlah kini mereka menghabiskan senja pada dedaunan yang ikut tersenyum melihat sepasang merpati yang berbahagia.

“Eh yang ini udah mateng belum?”
“Udah, tuh udah pada gede labuhnya. Tapi kalau jagung, singgkong mah belum, yang bisa kita panen sekarang paling cuma labuh sama ubi.”
“Oke!”
“Udah, yuk, takut kamu kemaleman pulangnya.”
Sambil membawa buah yang baru dipetik, mereka menuju rumah. Terdapat beberapa foto calon kepala desa yang tertempel di daun pintu Rumah Hafiz.
“Eh ada bapakmu!” seru Hafiz.
 “Hah, dimana?”

Raut wajah mia langsung menegang.
“Tuh di pintu!” Hafiz tertawa sambil mengarahkan matanya ke pintu rumah. Sedangkan Mia menatap tajam karena kesal dengan tingkah laku Hafiz.
Ruang tengah berukuran dua meter kali tiga terdapat sofa tua terletak di pinggir tembok lengkap dengan meja bundar, sebuah foto sepasang suami istri yang sedang menggendong bayi menyambut Mia. Ia tatap lekat-lekat foto itu sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan untuk menyembunyikan senyum. Gadis berambut poni itu mendengar suara Hafiz dan ibunya yang sedang mengobrol di ruang belakang.

“Pak, Bu, lagi ngapain sih?”
“Kamu emang lupa ini malem apa?”
“Pak, sudahlah jangan ikuti orang-orang!”
“Kamu yang jangan ikuti sifat kurang ajarmu itu!”
Hafiz tersentak, ia tak habis pikir dengan apa yeng tengah dilakukan kedua orang tuanya.
“Sudah ya Hafiz, lebih baik sekarang kamu mandi, sudah mau magrib!” ucap sang ibu mencoba melerai perdebatan antara anak dan ayah tersebut.
“Tapi, Bu. Bikin sesajen itu sama aja dengan menyembah setan. Dosa bu!”
“Assalamualaikum” Mia mencuri perhatian.
“Walaikumsalam, eh ada tamu, duh maaf ya neng ini rebut-ribut biasa kami mah!” bu Eti menimpali.
“Iya bu, wah lagi siapin sesajen, ya?”
“Iya neng buat nanti malem!”
“Sini bu, biar Mia bantuin!”
“Eh tapi, neng, Jangan, ah!”
“Gak papa, Bu. Mia juga sering bikin kok di Rumah sama ibu!”
Mia terlihat antusias, Hafiz hanya terdiam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Mia juga lagi buat ini di rumah sama ibu dan bapak.”
“Oh, emang kamu anak siapa cantik?”
“Pak Rojak, Bu?
“Pak Rojak mana, neng?” selidik pak Kasmin.
“Pak Rojak yang sekarang jadi kades, Pak!” ucap Hafiz.

Sejenak ibu dan ayahnya saling pandang, sedangkan Hafiz kini lebih banyak diam, mencoba mengendalikan keadaaan. Dari raut wajahnya masih menyimpan kebingungan sekaligus rasa tak percaya. Kenapa Mia yang dia kenal selama ini hidup dalam kegelimangan harta, selalu mendapatkan apa yang diinginkan, ternyata juga melakukan kebiasaan masyarakat kampung.

“Neng geulis, tolong kamu kasih tau tuh si Hafiz, kita ini harus menghormati penunggu sungai supaya terlindung dari marabahaya dan hasil panennya bagus!” Sungut Pak Kasmin sambil sedikit menyunggingkan bibirnya.

“Loh, emang hafiz kenapa, pak?”
“Dia enggak mau ikut acara seserahan nanti malam, susah nurutnya kalo disuruh ikut! Dia bilang, Jangan bikin sesajen, itu dosa, siluman buaya itu tidak ada, pak! Begitu terus setiap tahun.”
“Sudah-sudah, jangan dibahas. Kasian tuh Hafiznya.” Bu Eti mencoba menengahi.
Mia melirik pada Hafiz yang masih berdiri di ambang pintu. Sambil mengangkat alisnya, ia mencoba meminta klarifikasi atas pernyataan yang disampaikan oleh Ayah Hafiz. Tak ada kata yang terucap, hanya sedikit mengangkat kedua bahunya, Hafiz berjalan meninggalkan ibu dan ayahnya. Mia mengikuti dari belakang. Langkahnya berdesir, membawa pertanyaan pada lelaki yang selama ini membuatnya nyaman, lelaki yang selama ini membuatnya menjadi wanita yang bahagia dengan kesederhanaan dan kerja kerasnya dalam melakukan berbagai hal.

Mia memang menyukai segala tingkah laku Hafiz, mulai dari kekonyolannya sampai ke hal-hal yang semakin hari semakin membuatnya terpukau. Kekurangan dan ketaknyamanan menjalani kehidupan sebagai anak petani bantaran sungai, membuat Hafiz selalu melakukan hal lebih dibanding apa yang dilakukan teman-temannya. Ketika sedang berjalan, ia melangkah lebih cepat. Ketika sedang berlari, ia memacu lebih kencang. Begitu pun ketika sedang terbang, maka ia akan berusaha untuk melesat lebih tinggi.

“Hafiz!”
“iya” iya menjawab dengan sedikit mengokan wajah kea rah kanan.
“Kamu ga percaya sama siluman buaya di Sungai Citarum?”
“Engga! Siluman buaya itu gak ada Mia, itu semua bohong!”
“kamu kata siapa?”
Belum sempat terjawab oleh Hafiz, terasa ada berbunyi disertai getaran di kantung sweter Mia. Ia mengambil handphonenya lalu mengarahkannya ke telinga sambil melirik hafiz.
“Sebaiknya aku anter kamu pulang, udah mau maghrib!”
“Tapi, kenapa…”
“Udah, jangan dibahas lagi, ya!”

Burung-burung terbang membelah senja, melukiskan keheningan yang kini tercipta diantara Hafiz dan Mia. Ada yang hilang saat itu, mereka berjalan seperti orang yang baru pertama kali kenal, tak ada senyum, apalagi sekedar menggoda, semua seakan berubah seperti langit yang mulai meredup.
Sebelum terlihat perahu penyebrangan, mereka melewati padi yang tingginya sudah sepinggang anak remaja, Hafiz membentangkan tangan kirinya, meskipun terasa sedikit kasar, ia merasakan pucuk-pucuk hijaunya padi yang tulus memberikan sentuhan alami.  Melihat apa yang dilakukan lelaki yang tak percaya dengan tradisi masyarakat sekitar itu, Mia mencoba untuk mengikutinya. Ia merasakan sentuhan daun-daun padi, namun tak bisa menemukan kenyamanannya.

“Aku mau pulang ke rumah nenek!”
“Loh, nanti bapak dan ibumu gimana?”
“Bapak sama ibu juga ada di rumah nenek ko!”
“Oh yasudah!”

Mia kini berjalan sendiri, ia tak lagi menaiki perahu karena rumah nenek terdapat sebelah utara, tepatnya terletak di pinggir jalan utama yang searah dengan aliran sungai. Hafiz hanya memandangi bahu wanita yang sore itu membuatnya tak  enak hati. Ia menimbang, apakah sikapnya telah menyakiti perasaan Mia sehingga membuatnya marah. Ah, itu bukan soal, keyakinannya tetap kuat tentang semua kebohongan yang sudah lama ia tentang. Kini, pandangannya sudah tak lagi mampu melihat tubuh gadis remaja dengan rabut hampir menutupi bahu itu. ia membalikkan badan, menendang apa saja yang ada di hadapannya.

Langkahnya taklagi cepat seperti tadi ketika pertemuan itu dimulai.kini hanya ada seretan langkah yang layu, ia bingung akan keadaan yang sedang terjadi antara dia dan Mia. Berulang kali mencoba menepis bayangan akan kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya ragu,namun tetap saja ia takbisamembohongi hatinya akan sikap Mia yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang kebnyakan di kampungnya. Sedikit kecewa, itu wajar bagi lelaki seusianya. Tapi hasrat untuk melupakan, itu yang belum bisa dilakukan.
Azan mengantarnya pada pintu rumah. Lekas mandi dan bersiap untuk salat. Ayah dan Ibunya masih terlihat sibuk dengan segala kembang dan makanan untuk sesajen.

“Ibu sama bapak udah solat?”
“Sebentar lagi, ini belum beres!”
“Pak, Azan magrib itu waktunya sebentar. Harus disegerakan!”
“Iya!”

Kedua orang tuanya pun solat, Hafiz hanya bisa menahan gejolak dalam dadanya. Ia kembali ke kamar. Desik-desik langkah orang yang beramai-ramai mulai terdengar. Mereka berduyun-duyun menuju Sungai. Selapas Isya, Pak Kasmin dan Bu Eti meninggalkan Hafiz sendirian di rumah. Mereka berjalan dengan nampan berisi ayam, nasi, telur dan lauk pauk lainnya yang ditaburi kembang tujuh rupa. Malam itu menjadi malam yang ramai namun sunyi, terang namun terasa asing. Hanya kemenyan yang mampu menyelimuti malam. Sungai yang mengalir pun menambah suasana sepi yang diselimuti angin malam.




Komentar